STUDIUM GENERAL FH UJB “PERGESERAN PARADIGMA POSITIVISME KE PROGRESIVISME DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA”

10 September 2024, Fakultas Hukum Universitas Janabadra (UJB) Yogyakarta kembali menyelenggarakan agenda rutin yaitu Studium General (Kuliah Umum). Studium General kali ini dinarasumberi oleh Prof. Tomi Suryo Utomo, SH., LL.M., Ph.D. Terkait dengan tema yang diusung, Prof. Tomi Suryo Utomo menyampaikan tentang pergeseran paradigma positivisme ke progresivisme dalam sistem hukum indonesia.

Dalam Studium General tersebut, Prof. Tomi Suryo Utomo menyampaikan, bahwa hukum merupakan sistem aturan yang mengatur perilaku individu dan kelompok dalam masyarakat, serta menetapkan sanksi bagi pelanggaran untuk menjaga ketertiban dan keadilan. Teori Hukum muncul untuk mengakomodasi perubahan dinamis tersebut. Salah satu yang menjadi bagian dari perkembangan teori hukum adalah teori hukum positivisme.

Prof. Tomi Suryo Utomo menjelaskan bahwa teori hukum positivisme merupakan pandangan bahwa hukum merupakan seperangkat aturan yang ditetapkan oleh otoritas yang dan bersifat independen, terpisah dari moralitas atau nilai-nilai etika. Contoh permasalahan hukum paradigma positivisme yaitu kasus pencurian sandal yang dilakukan oleh anak berinisal AAL (15 tahun) yang bersekolah di SMKN 3 Palu. AAL didakwa mencuri sandal jepit seharga 30 ribu milik Brigadir Polisi Satu Ahmad Rusdi Harahap. Pemilik sandal melaporkan terdakwa dan terdakwa dijerat dengan Pasal 362 KUHP.

Lebih lanjut, Prof. Tomi Suryo Utomo memaparkan terkait dengan pendekatan paradigma progresivisme. Penggagas pendekatan progresivisme adalah Satjipto Rahardjo, pendekatan progresivisme merupakan pendekatan yang fleksibel atau bukan pada aturan hukum yang kaku, sehingga mempertimbangkan konteks sosial dan keberpihakan pada keadilan substantif.

Contoh putusan hakim dengan pendekatan progresivisme yaitu pada perkara antara Nenek Minah dan PT.Perkebunan Rumpun Sari Antan. Nenek Minah secara teknis melanggar hukum. Namun dalam hal ini, Hakim mempertimbangkan bahwa Nenek Minah mengambil kakao tersebut bukan karena keserakahan, tetapi kebutuhan yang mendesak. Hakim memberikan hukuman yang sangat ringan, yaitu hukuman percobaan selama satu bulan dan 15 hari. Hukuman ini secara simbolis menunjukkan bahwa meskipun hukum harus ditegakkan, ada pengakuan bahwa tindakan tersebut dilakukan dalam konteks kesulitan hidup yang mendesak.

“Selanjutnya, terjadi pergeseran paradigma dari positivisme ke progresivisme menuju restorative justice” ungkap beliau

Beliau menjelaskan bahwa Restorative Justice diatur dalam Peraturan Jaksa Agung (PERJA) No. 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan restorative dan pada Peraturan Polisi (PERPOL) No. 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif .

“Restorative justice merupakan pendekatan dalam sistem peradilan yang berfokus memperbaiki kerugian yang disebabkan oleh tindak pidana melalui partisipasi aktif dari pelaku, korban, dan masyarakat. Restorative justice berupaya mencapai pemulihan dengan mengakui dampak kejahatan, memfasilitasi dialog, dan memberikan kesempatan bagi pelaku untuk bertanggung jawab serta memperbaiki kesalahan mereka” ujar Prof. Tomi dalam paparannya.