Pagar Laut, Paradigma Baru Hukum Pertanahan
MEMASUKI 100 hari pemerintahan Prabowo-Gibran, publik dibuat geger oleh “PAGAR LAUT” yang membentang sampai dengan 30 KM di Tangerang, dan telah bersertifikat. 263 sertifikat HGB yang terdiri dari 234 bidang atas nama PT Intan Agung Makmur, 20 bidang atas nama PT Cahaya Inti Sentosa, 9 bidang atas nama perseorangan dan 17 bidang HM.
Telah menjadi perdebatan publik, karena telah merugikan para nelayan yang kehilangan akses untuk mencari ikan. Pada sisi lain, secara bisnis hamparan laut yang secara ilmiah dapat berubah menjadi daratan (Reklamasi) sangat berpotensi mendatangkan keuntungan dan atau laba. Bagaimana laut dapat dikavling-kavling yang kemudian diterbitkan sebuah hak kepemilikan.
Pada prinsipnya pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA), termasuk laut pesisir tergantung pada negara. Kalau mendasarkan pada Pasal 33 ayat (3) UUD’1945 yang menyatakan “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”, maka apapun yang akan dilakukan negara sepanjang untuk kemakmuran rakyat, termasuk laut baik untuk nelayan maupun untuk korporasi maka syah-syah saja.
Alasannya, menurut pandangan modern tujuan korporasi itu adalah termasuk untuk mensejahterakan rakyat, yang bertolak belakang dengan pandangan konvensional yang berorientasi pada keuntungan dan laba dengan mengabaikan kesejahteraan rakyat. Harapan rezim pemerintahan JOKOWI ketika tanah perairan pesisir dibuat “PAGAR LAUT” untuk korporasi, tujuannya adalah termasuk mensejahterakan rakyat, sehingga bisa dikavling-kavling.
Namun faktanya adalah justru sebaliknya yang bisa disebut sebagai disoirentasi konstitusi karena tujuan korporasi tidak sepaham dengan welfare state. Berkaitan dengan kavling tanah laut, ada paradigma baru dalam hukum pertanahan Indonesia.
Pertama; menurut Guru Besar Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM), Prof Nurhasan Ismail, yang dimuat di berbagai media elektronik, tanah perairan bisa dilekatkan alas hukum hak atas tanah. Hal ini mengacu pada pengertian tanah dalam Pasal 1 ayat (4) UU No 5 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA) adalah bukan hanya tanah yang ada di daratan, tetapi juga tanah yang ada di bawah kolom air, yaitu baik perairan pesisir maupun yang ada di danau atau sungai termasuk dalam definisi tanah.
Hal ini senada dengan pengertian tanah menurut Peraturan Pemerintah No.18 tahun 2021, yang menyatakan bahwa tanah adalah permukaan bumi baik berupa daratan maupun yang terutup air, sehingga tanah yang ada di laut/perairan pesisir Tangerang dapat diberikan alas hak, sepanjang penerbitan Sertifikat sesuai peraturan perundang-undangan.
Kedua; pendekatan hukum bisnis, mengapa penerbitan HGB tidak diperuntukan bagi Nalayan. Bahwasanya sesuatu yang dapat menjadi obyek bisnis maka menjadi incaran Korporasi yang secara teoritis pandangan mengenai tujuan bisnis menganut faham modern. Oleh karena itu, segala upaya dilakukan Korporasi sekedar untuk mewujudkan tujuan yang sesungguhnya, termasuk mengajukan permohonan pensertifikatan tanah di laut pesisir. Walaupun kemudian ditengarai cacat prosedur, sehingga dibatakkan pemerintah berkuasa.
Ketiga; penerobosan hukum Pertanahan, sejak berlakunya UU 5/1960, pemerintah yang menerbitkan HBG dan Hak Milik tanah perairan pesisir adalah pemerintahan JOKOWI. Hal tersebut, mendasarkan pada UU No 6 tahun 2023 tentang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah Nomor 18 tahun 2021. Dimana Negara dapat memberikan Hak Pengelolaan (HPL) kepada Intansi pemerintah pusat, pemerintah Daerah, Badan bank tanah, Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha milik Daerah, Badan hukum milik negara/daerah, atau badan hukum yang ditunjuk pemerintah pusat.
Selanjutnya kepada pemegang HPL tersebut diberikan kewenangan yang salah satunya adalah untuk memanfaatkan sendiri atau dikerjasamakan dengan pihak lain, yang selanjutnya di atas HPL dapat diterbitkan HGB, Hak Pakai, Hak Guna Usaha.
Secara yuridis proses penerbitan hak atas tanah, dimulai dari kegiatan pendafataran tanah. Untuk dapat dilakukan pendaftaran tanah, maka tanah di perairan pesisir harus terlebih dahulu berwujud bidang tanah. Pemerintahan Prabowo-Gibran diharapkan dapat menegakan hukum dan keadilan, termasuk hukum pertanahan guna mewujudkan negara welfare state. (Dr. Sudiyana, SH. M. Hum, Dekan Fakultas Hukum Universitas Janabadra Yogyakarta)
Sumber : https://www.krjogja.com/opini/1245598814/pagar-laut-paradigma-baru-hukum-pertanahan







