Kemandirian Hakim
HAKIM dan hakim konsitusi merupakan sosok manusia seperti dewa, wakil Tuhan yang mnejalankan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan di dunia ini. Menurut positivisme hukum sebagaimana ajaran Jhon Austin, HLA Hart, Hans Kelsen, mengacu Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, hakim dan hakim konstitusi dalam menjalankan tugasnya wajib menjaga kemandirian peradilan, yakni bebas dari campur tangan pihak luar dan bebas dari segala bentuk tekanan, baik fisik maupun psikis.
Sejak hiruk pikuk Pemilihan Presiden pada tahun 2023-2024 dan Pemilihan Kepala Daerah tahun 2024 ini, Hakim dan hakim Konsitusi mendapatkan ujian berat karena banyak memeriksa perkara-perkara di bidang hukum tata negara yang sangat berhubungan erat dengan situasi dan kondisi politik praktis di negeri ini. Hal ini terbukti:
Pertama melalui putusan Mahkamah Kontisuti Nomor:90/PUU-XXI/2023 tanggal 9 Oktober 2023, yang amar putusannya menyatakan; bahwa Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) yang menyatakan, “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”. Sehingga Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum selengkapnya berbunyi “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”.
Kedua, Menurut Mahkamah Agung dalam putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor: 23/P/HUM/2024, Pasal 4 PKPU Nomor 9 Tahun 2020 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Wakil Gubernur dan 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Wakil Bupati atau Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota terhitung sejak pelantikan pasangan Calon terpilih.”
Kedua putusan badan peradilan yang mempunyai kekutan hukum mengikat (final and binding) tanpa ada upaya hukum apapun mendapat kritikan yang sangat tajam dari berbagai kalangan akademisi dan praktisi hukum, terutama dari kelompok yang kontra dengan pemerintahan Jokowi, karena seolah dapat memberikan karpet merah bagi semua warga negara yang memenuhi syarat, pada hal hanya untuk kedua putra Presiden Jokowi, baik pada Polpres untuk Gibran Rakabuming Raka dan pada Pilkada mendatang Untuk Kaesang Pangarep.
Pertanyaannya adalah bagaimakah kemandirian Hakim dan Hakim Konstitusi dalam memeriksa perkara-perkara bidang hukum tata negara yang syarat dengan politik praktis. Hukum formal memandang kemandirian hakim hanya terbatas pada saat melakukan musyawarah hakim untuk mengambil putusan (Vonis), apabila berpegang pada pandangan ini, maka sangat tepat bahwa kemandirian hakim sangat terjaga artinya hakim bebas dari campur tangan pihak luar dan dari tekanan manapun baik fisik maupun psikis. Namun, dibalik musyawarah hakim tersebut secara substansial hanyalah hakim dan hakim konsitusi serta Tuhan saja yang mengetahui adanya campur tangan dari pihak eksternal.
Ketiga, belum lama kemudian, panggung penegakan hukum digemparkan dengan putusan yang membebaskan dari segala dakwaan atas tindak pidana pembunuhan terhadap terdakwa Gregorius Ronald Tannur di Pengadilan Negeri Surabaya. Para Pakar Hukum Pidana menilai, bahwa Hakim hanya mempertimbangan alat bukti yang dapat membebaskan terdakwa saja, dan tidak mempertimbangkan semua alat bukti yang diajukan jaksa penuntut umum.
Putusan Pengadilan Negeri Surabaya a quo, tidak memberikan rasa keadilan masyarakat. Maka timbul pertanyaan, bagaimana jalan pikiran hakim dalam mengambil putusan tersebut?
Sepertinya, Hakim tidak mendasarkan pada proses hukum (due proses of law) yang benar, dalam pertimbangan hukumnya hakim tidak terikat pada Undang-undang, sebagaimana pada proses hukum pada umumnya (Ajaran Civil Law System). Hakim lebih terikat pada keyakinanya yang tidak didasarkan pada semua alat bukti. Sehingga dipertanyakan mengenai bagaimana kemandirian hakim?
Di atas meja musyawarah hakim tidak ada campur tangan pihak eksternal dan tidak ada tekanan baik fisik maupun psikis. Namun, di bawah meja musyawarah hakim, banyak faktor yang mempengaruhi putusan hakim. Faktor-faktor yang mempengaruhi bekerjanya hakim sudah banyak ditelaah oleh para ahli hukum dan terutama ahli sosiologi hukum.
Jika sebelum era digitalisasi, pengaruh itu dibawakan secara manual, luring, atau fisik, sedangkan pada era digitalisasi ini, pengaruh lebih banyak dilakukan secara daring, online, secara maya. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kemandirian hakim dan hakim kosntitusi;
Pertama, latar belakang seorang hakim. apa pentingnya baground seorang hakim dalam hubungannya dengan putusan yang dijatuhkan. Dalam teori sosiologi menjadi hal yang sangat urgen. Hakim layaknya manusia dalam kehidupan bernasyarakat, dia ada dan merupakan bagian dari struktur kehidupan masyarakat. Kehidupan masa kecil (kanak-kanak), kehidupan masa remaja dan kehidupan masa dewasa kadang terbawa pengaruh lingkungan. Apakah dalam lingkungan dalam kehidupan sederhana, kehidupan yang serba mewah, atau dalam kehidupan pada lingkungan masyarakat yang ideal (serba kecukupan), atau masyarakat terbelakang (serba kekurangan). Kondisi sosial ini dapat membentuk bermacam-macam karakter hakim, ada karakter hakim yang berjiwa tegas, ada karakter yang mudah terkena pengaruh, ada karakter hakim yang pendendam, tapi juga ada karakter hakim yang ideal (standart) dan normatif. Putusan dapat dipengaruhi oleh karakter hakim yang dibentuk oleh kehidupan atau latar belakang hakim.
Kedua, faktor politik. Hukum merupakan produk politik. Dalam slogan keseharian hukum dan poliitk ibarat dua mata sisi uang yang tidak dapat dipisahakan. Terkadang hukum menjadi alat politik, dan sebaliknya bekerjanya politik mendasarkan pada hukum. Ketika pemegang kekuasaan bersifat otoriter, maka Ia akan luwes menggunakan hukum sebagai alat kekuasaan. Dengan dalih penegakan hukum, orang yang berseberangan dengan penguasa dapat dengan mudah diproses secara hukum, dan sebaliknya walaupun orang itu jelas tampak dalam masyarakat melanggar hukum namun karena dekat dan pro dengan kekuasaan, maka Ia bisa lolos dari jerat hukum.
Secara ketatanegaraan, sistem kekuasaan di Indonesia menganut ajaran Montesque tentang pemisahan kekuasaan (separation of power) namun tidak muurni, karena masih ada kerja sama di antara pemegang kekuasaan, sehingga kekuasan eksekutif dapat mempengaruhi kekuasaan yudikatif, dan kekuasaan legislative, dan sebaliknya, tergantung mana yang dominan.
Dalam membentuk Undang-undang Legislatif bekerjasama dengan eksekutif, dan sebaliknya. Dalam menegakan hukum ekekutif bekerjasama dengan yudikatif. Pemerintahan saat ini sepertinya eksekutif lebih dominan, sehingga dengan mudah mempengaruhi kekuasaan yudikatif dan legislatif. Oleh karena itu ada putusan-putusan hakim dan hakim konstitusi yang dapat dipengaruhi oleh eksekutif maupun legislattif.
Ketiga, faktor rkonomi. Makna ekonomi bukan dalam pengertian karena adanya kekurangan (miskin), namun justru sebaliknya, yakni adanya banyak kebutuhan yang tidak primair (pokok) namun diinginkan (rakus). Kerakusan ini dapat mempengaruhi kinerja pengadilan (hakim) dalam mengambil putusan, yang mestinya divonis pidana menjadi bebas karena adanya suap (uang), yang seharusnya ditolak menjadi dikabulkan karena ada uang sogok. Pola kemandirian hakim menjadi ada tekanan dari pihak luar yang dapat mempengaruhi putusan (vonis).
Keempat, faktor sosial masyarakat. Melalui media sosial, masyarakat mempunyai peran yang sangat significant dalam proses penegakan hukum dan putusan hakim. Perkara-perkara di masyarakat yang kemudian viral atau diviralkan akan menjadi perkara hukum dan akan mendapat perhatian publik.
Desakan publik melalui media membuat penegak hukum untuk kemudian melakukan berbagai tindakan atau proses hukum, hingga putusan hakim. Banyak putusan hakim yang syarat dengan desakan publik atau pengaruh sosial masyarakat, baik yang secara langsung hadir dalam persidangan, maupun yang melalui media sosial. desakan masyarakat menjadi penting, sepanjang tetap berada di atas hukum sebagai perwujudan keadilan masyarakat.
Hukum memang dibuat untuk manusia, bukan sebaliknya (Progresivisme hukum, Satjipto Raharjo). Maka penggunaan hukum terutama dan yang paling utama adalah untuk mewujudkan kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat, maka keadilan substansial yang harus diwujudkan hakim dalam putusan-putusannya. Perlu ada perubahan atau pergesaran paradigma dalam berfikir tentang hukum, dari yang positivisme ke arah yang lebih progresif agar keadilan masyarakat (Substansial) dapat diwujudkan. Berhukumlah dengan hati nurani, agar kemandirian hakim dapat terjaga.(Sudiyana, Dekan Fakultas Hukum Universitas Janabadra Yogyakarta)
Sumber : https://www.krjogja.com/opini/1244963194/kemandirian-hakim?page=2





