Hukum Royalty Hak Cipta di Ruang Publik

BEBERAPA minggu terakhir ini, disamping berita dugaan Ijazah Palsu Jokowi yang tak pernah berakhir dari pemberitaan media, tengah ramai pula di media sosial berita tentang royalty hak cipta di ruang publik. Tidak mengherankan, jika fenomena sosial ini mengemuka menjadi viral di berbagai media sosial, pasalnya ruang-ruang public seperti restorant, Kafe, hotel, bandara, terminal, armada Bus umum yang memutar dan memperdengarkan lagu-lagu, akan dikenakan kewajiban membayar Royalti. 

Berita itu bermula dari sengketa antara Mie Gacoan Bali vs Sentra Lisensi Musik Indonesia (SELMI) salah satu Lembaga Manajemen Kolektif yang berakhir damai dengan pembayaran Royalti Rp 2,2 Milyar. Pertanyaannya, mengapa ruang publik yang memperdengarkan lagu-lagu wajib membayar royalty, bukannkah mereka sudah membeli dari produser yang tentunya telah membayar royalti.

Bagi orang awam, kewajiban tersebut kurang diterima, terlebih konsumen yang menyantap makanan di restorant, atau yang menginap di hotel, penumpang armada bus umum, atau yang sedang santai di kafe menikmati kopi, dan lain-lain. Bagi konsumen sangat wajar untuk mempertanyakan dan menolak kewajiban itu.

Namun bagi pelaku usaha, hukumnya menjadi berbeda. Orientasi pelaku usaha adalah keuntungan dan atau laba, maka dengan cara bagaimanapun akan ditempuh sepanjang dapat mendatangkan pelanggan (konsumen) yang membeli produknya, termasuk dengan cara memperdengarkan lagu-lagu. Oleh karena itu Pelaku usaha otomatis akan membebankan kewajiban-kewajiban pembayaran itu kepada pelanggan/konsumen, termasuk royalty, pajak, dan lain-lain. Mengapa pelaku usaha menjadi wajib membayar royalty atas pemutaran lagu-lagu tersebut.

Secara yuridis, permasalahan hak cipta yang termasuk dalam konteks ilmu pengetahuan, seni dan sastra, seperti ciptaan lagu, telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UUHC). Menurut UUHC hak cipta merupakan hak eksklusif baik hak moral maupun hak ekonomi, di mana orang lain tak dapat menggunakan hak tersebut tanpa ijin dari pencipta atau pemegangnya. Hak cipta meliputi hak moral dan hak ekonomi.

Hak moral merupakan hak yang melekat secara abadi pada diri Pencipta yang tidak dapat dialihkan selama pencipta masih hidup, misalnya hak untuk tetap mencantumkan atau tidak mencantumkan namanya pada Salinan ciptaannya.

Sedangkan Hak Ekonomi merupakan hak eksklusif pencipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi, misalnya untuk Penggandaan Ciptaan dalam segala bentuknya, penerjemahan, pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian, Pendistribusian, pertunjukan, Pengumuman dan penyewaan Ciptaan.

Ekslusivisme hak cipta ini ditetapkan sejak harmonisasi hukum liberal yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 1994 tentang Ratifikasi Perjanjian Multilateral Word Trade Organization, salah satu kesepakatan yang diratifikasi adalah tentang perlindungan Hak Kekayaaan Intelektual, termasuk hak cipta atas lagu. Melalui harmonisasi hukum, menurut UUHC, Pencipta mendapat perlindungan hukum secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif sejak ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata (system declarative), untuk perorangan ditambah 70 tahun sejak meninggal dunia, dan 50 tahun untuk badan hukum.

Secara hukum, bagi pihak lain yang memanfaatkan hak ekonomi suatu ciptaan atau Penggunaan Secara Komersial produk terkait, dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan ekonomi dari berbagai sumber atau berbayar, maka harus membayar royalty. Pada umumnya, pihak yang menggunakan secara komersial atas hak cipta lagu dengan cara memperdengarkan kepada pelanggan adalah para pelaku usaha terutama bidang jasa seperti Restoran, Kafe, Transpotasi Bus, dan lainnya.

Untuk menekan pembiayaan dan apabila pelaku usaha, akan membebankan konsumen, maka ada beberapa hal yang harus dilakukan, Pertama; harus memperhatikan hak-hak konsumen sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dalam hal adanya kewajiban royalty, hak konsumen adalah mendapatkan informasi tentang adanya kewajiban konsumen membayar royalty, Kedua; membuat komitment atau persetujuan pada konsumen terkait fasilitas yang berbayar, seperti pemutaran lagu-lagu.

Menjamin kenyamanan dalam menikmati fasilitas berbayar dan pelayanan atas jasanya. Agar pelaku usaha dapat melakukan bisnis dengan baik dan menghasilkan keuntungan, maka harus mendasarkan hukum dan etika, sehingga tidak merugikan konsumen, dan menimbulkan sengketa. (Sudiyana, SH. M. Hum, Dekan Fakultas Hukum Iniversitas Janabadra Yogyakarta)

Sumber : https://www.krjogja.com/opini/1246437825/hukum-royalty-hak-cipta-di-ruang-publik