Korupsi di BUMN

REZIM Prabowo-Gibran membuat paradigma baru dalam kebijakan hukum tentang bisnis yang dikelola negara melalui Undang-Undang Nomor 1 tahun 2025 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. Penggiat anti korupsi terhentak dan geram dengan perubahan tersebut. Pasalnya, Komisi Pemberantasan Korupsi tidak lagi dapat menyentuh penyelewengan uang negara yang selama ini disinyalir banyak ditemukan di BUMN, mengingat Organ dan Pegawai Badan Pengelola BUMN, serta Anggota Direksi, Komisaris dan Dewan Pengawas BUMN bukan penyelenggara negara.

Menurut hukum perseroan, BUMN yang bentuknya Perseroan Terbatas tunduk pada hukum Privat yakni Undang-undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Jo Undang-Undang Nomor 6 tahun 2023 tentang Cipta Kerja. Dimana Perseroan Terbatas (perseroan) sebagai badan hukum merupakan entitas tersendiri sebagai personalitas yang terpisah dengan pemiliknya (Negara). Segala perbuatan Perseroan menjadi tanggungjawab Perseroan bukan pemilik. Apabila melakukan perbuatan yang merugikan pihak lain, yang bertanggung jawab adalah perseroan itu sendiri, sebaliknya apabila dalam menjalankan bisnis mengalami kerugian maka itu risiko perseroan. Aset Perseroan yang diselewengkan Anggota Direksi, Komisaris dan atau Dewan Pengawas menjadi kerugian Perseroan bukan negara sebagai pemiliknya, dengan demikian menurut hukum perseroan kerugian Perseroan bukan kerugian negara.

Apakah perbuatan melawan hukum yang dilakukan Anggota Direksi, Komisaris dan atau Dewan Pengawas yang merugikan keuangan Perusahaan negara bukan suatu tindak pidana korupsi? dan apakah KPK tidak dapat melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan? Berdasarkan hukum privat yakni Undang-Undang Perseroan Terbatas dan Undang-Undang BUMN, maka tindakan tersebut termasuk tindak pidana umum yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, sebagai perbuatan penggelapan uang perusahaan, yang ancamanya 4 (empat) tahun penjara, dan kewenangan penyelidikan, penyidikannya dilakukan oleh kepolisian, sedangkan penuntutan oleh Kejaksaan.

Namun demikian, menurut hukum publik, Pertama; berdasarkan Pasal 1 angka 1 Jo Pasal 2 huruf g Undang-undang Nomor 17 tahun 20023 tentang Keuangan Negara, Aset Perseroan merupakan keuangan negara. Oleh karena itu suatu perbuatan untuk memperkaya diri sendiri atau orang dengan melawan hukum dan dapat menimbulkan kerugian negara dapat dikualifikasi sebagai tindak pidana korupsi sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang 30 tahun 2002 yang dirubah dengan Undang-undang Nomor 19 tahun 2019. Kedua; berdasarkan Penjelasan Pasal 2 angka 7 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme, Penyelenggara Negara meliputi “pejabat lain yang memiliki fungsi strategis” yaitu pejabat yang tugas dan wewenangnya di dalam melakukan penyelenggaraan negara rawan terhadap praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang antara lain meliputi; Direksi, Komisaris, dan pejabat struktural lainnya pada Badan Usaha Milik Negara. Oleh karena itu, berdasarkan hukum publik Anggota Direksi, Komisaris dan Dewan Pengawas Badan Usaha Milik Negara adalah penyelenggara negara, sehingga apabila melakukan penyelewengan keuangan perseroan disebut melakukan tindak pidana korupsi, dan karenanya KPK mempunyai kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Adanya disharmonisasi hukum privat dan hukum publik tersebut menimbulkan permasalahan dalam mengatasi perbuatan penyelewangan asset Perusahaan negara.

Yang harus dilakukan, terutama pengambil kebijakan hukum, antara lain adalah Pertama; melakukan harmonisasi hukum terhadap regulasi aset Perusahaan Negara. Demi kepentingan negara seharusnya aset perusahaan negara merupakan keuangan negara bukan milik Perseroan an sich (UU Keuangan Negara). Kedua; melakukan harmonisasi hukum terhadap Regulasi mengenai Anggota Direksi, Komisaris, dan pejabat struktural BUMN. Sebaiknya Anggota Direksi, Komisaris, dan pejabat struktural BUMN termasuk penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam UU Penyelenggara Negara. Ketiga; langkah strategis yang dapat dilakukan masyarakat atau LSM adalah melakukan Judicial Review terhadap pasal 3X dan 9G UU No 1 tahun 2025.

Pada prinsipnya hakekat hukum adalah pesan moral dari pembentuk hukum. Dalam pembentukan hukum apabila berbasis konstitusi tentu akan berpihak pada keadilan dan kesejahteraan masyarakat, namun sebaliknya apabila tidak mendasarkan konstitusi maka pasti tidak mencerminkan keadilan. (Dr. Sudiyana, SH. M. Hum, Dekan Fakultas Hukum Universitas Janabadra Yogyakarta)

Sumber : https://www.krjogja.com/opini/1246028989/korupsi-di-bumn