Analisis Konsekuensi Hukum Kepailitan

Janji Prabowo – Gibran dalam kampanye pilpres untuk menciptakan 19 juta lapangan pekerjaan berbanding terbalik dengan fakta yang selama 5 bulan menjabat, yakni gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap para buruh. Yang mengerikan dialami 12 ribu pekerja pabrik Garmen PT Sritex Sukoharjo, Jawa Tengah, karena pailit akhir februari 2025. Kabar lain datang dari PT Yamaha Music Product Asia yang memproduksi piano di kawasan MM2100, Cikarang, Bekasi yang akan menutup pabriknya akhir Maret 2025, ratusan pekerja berpotensi terkena PHK.

Dalam hal likuidasi karena pailit pada Perseroan Terbatas (PT), maka akan menjadi persoalan hukum, terlebih jika pemegang saham, direksi dan atau komisaris terlibat, dan berdampak PHK. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (UUPT), pertanggungjawaban perseroan menganut Prinsip Entitas Terpisah (separatyentitity), apa yang menjadi perbuatan hukum perseroan merupakan tanggungjawab perseroan sendiri dan Prinsip tanggungjawab terbatas (limited liability), pemegang saham tidak dapat diminta pertanggungjawaban melebihi saham yang diambil, termasuk tindakan atas nama perseroan yang dilakukan direksi dan atau komisaris.

Namun demikian, apabila ada kesalahan dari pemegang saham, direksi dan atau komisaris yang dapat merugikan perseroan termasuk menyebabkan Pailit, maka mereka dapat diminta pertanggngjawaban, dengan mendasarkan azas Piercing the corporate viel.

Tentu tidak semua buruh memahami masalah ini. Berbagai berita Viral di media sosial, bahwa Perseroan yang Pailit tetapi aset dari pemegang saham, direksi dan atau komisaris justru meningkat. Keadaan seperti ini yang menimbulkan ketidak – adilan dalam prinsip pengelolaan perseroan, sebab pada satu sisi masa depan buruh menjadi tidak jelas dalam mendapatkan pekerjaan dan atau penghasilan, sementara bagi pengelola perseroan, hal itu mungkin tidak ada permasalahan.

Azas Piercing the corporate viel merupakan sarana untuk membuka tabir tentang pertanggungjawaban perseroan, tergantung kepada siapa yang melakukan kesalahan. Dalam hal terjadi kepailitan, kecuali dapat membuktikan sebaliknya maka secara pribadi; Pertama pemegang saham bertanggungjawab, sesuai Pasal 3 ayat (2) huruf d UUPT yang menyatakan pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perseroan, yang mengakibatkan kekayaan Perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang Perseroan.Ketidak mampuan  mana hingga menyebabkan kepailitan.

Kedua; berdasarkan Pasal 104 ayat (2) UU PT, dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi dan harta pailit tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban Perseroan dalam kepailitan tersebut, setiap anggota Direksi secara tanggung renteng bertanggungjawab atas seluruh kewajiban yang tidak terlunasi dari harta pailit tersebut.

Ketiga; berdasarkan Pasal 115 ayat (1) UUPT Dalam hal terjadi kepailitan karena kesalahan   atau   kelalaian   Dewan Komisaris dalam melakukan pengawasan terhadap pengurusan yang dilaksanakan oleh Direksi dan kekayaan Perseroan tidak cukup untukmembayar seluruh kewajiban Perseroan akibat kepailitan tersebut, setiap anggota Dewan Komisaris secara tanggung renteng ikut bertanggungjawab dengan anggota Direksi atas kewajiban yang belum dilunasi.

UUPT hanya memberikan hak derivatife kepada pemegang saham saja untuk melakukan tuntutan pertanggungjawaban tersebut terhadap direksi dan atau komisaris. Namun, secara hermenuitik, hak tersebut dapat diperluas kepada siapapun (termasukburuh)  yang merasa dirugikan atau bahkan demi kepentingan umum Jaksa pengacara negara mestinya dapat melakukan tuntuan. Pada dasarnya nasib buruh seperti pemegang saham minoritas dalam perseroan terbuka, tidak ada kemampuan hukum apapun terhadap perseroan yang dalam keadaan non likuiditas, termasuk dalam sengketa dan proses kepailitan. Sebagai bentuk pertanggungjawaban, pada fasepra-pailit yang perlu dilakukan pihak manajemen; Pertama; melakukan reinvestasi dengan menggandeng investor baru baik asing atau domestik, baik dengan skema merger maupun take over atau aquisisi. Kedua; mungkin sudah dipraktekan, yaitu menambah modal dengan cara menerbitkan saham baru maupun dengan menerbitkan convertable bond. Ketiga; jika memang pailit, bukan hanya membayar upah terutang, namun perlu memberikan pesangon selayaknya pensiun.

Sehingga hak buruh atas penghidupan yang layak dapat terpenuhi (substantive justice).